27 Mei 2011

Yang dicaci, yang dicari

Pada Tahun 2010, beberapa Kementerian membuka lowongan pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baru. Tak ayal lagi, ribuan orang mendaftarkan diri meskipun persyaratan administrasi yang harus dipenuhi tak sedikit. Setiap pelamar wajib menyertakan kartu kuning, SKCK (bukti kelakuan baik) dari kepolisian, surat keterangan sehat dari rumah sakit yang semuanya tak bisa dibilang gratis. Pungutan selalu merajalela saat orang ramai ingin menjadi CPNS. Bila satu saja persyaratan administrasi tersebut tak disertakan, maka jangan harap bisa lolos ke tahap selanjutnya.

Saya tak mau panjang lebar mengomentari rumitnya mengurus surat-surat tersebut. Yang mengherankan adalah bagaimana pekerjaan menjadi PNS itu begitu menggoda padahal sudah rahasia umum beberapa persen dari mereka tak bekerja sesuai aturan. Tak jarang PNS dicaci karena korupsi. Entah itu korupsi waktu kerja ataupun korupsi uang negara.

Media juga tak surut memberitakan kemalasan PNS, namun sayangnya efek pemberitaan tak mampu menjadi cambuk bagi mereka untuk berbenah diri. Sungguh sayang. Media yang dianggap sebagai kontrol publik saja sudah tak mampu membuat mereka sadar apalagi dengan cibiran masyarakat yang terdengar seperti bisikan saja.

Meskipun banyak dicibir, dicaci, dimaki atau apalah sebutannya itu, ribuan orang tetap berminat menjadi PNS. Tak jarang juga mereka yang mencaci ikut meramaikan ajang pendaftaran CPNS tadi. Mulut menolak tapi hati berontak. Fenomena ini rasanya sulit hilang dari tanah Indonesia. Keinginan untuk mendapat uang tanpa harus bersusah payah nampaknya telah menjadikan orang sebagai hamba profesi PNS. Lihat saja, pendaftaran CPNS tak pernah sepi peminat.

Bagaimana negeri ini bisa makmur, kalau tujuan hidup masyarakatnya hanya ingin santai di hari tua tanpa ada upaya maksimal di masa muda. Seharusnya mereka yang menjadi PNS sadar bahwa sebenarnya mereka adalah abdi negara yang digaji dengan uang rakyar. Seharusnya malu jika korupsi uang dan waktu. Apa sulitnya melayani masyarakat hanya 8 jam sehari? Apa sulitnya berada di kantor selama jam kerja. Dan mengapa terlihat sulit menahan diri untuk tak korupsi? Padahal mereka akan tetap mendapat santunan hidup di hari tua.

Saya cuma berharap, pola pikir mayoritas masyarakat Indonesia bisa berubah untuk lebih mementingkan bangsanya ketimbang mementingkan kenyamanan pribadi. Toh kalau bangsa ini sudah nyaman, tenteram, dan sentosa tentunya kehidupan masyarakat di dalamnya juga ikut sejahtera!

Sumber: http://catatan-ocha.blogspot.com/