06 Juli 2010
Jurus Polri Menutup Aib & Restrukturisasi, Pengalihan Isu Ke Video Porno?
Di Posting:
Selasa, Juli 06, 2010
Pautan:
Aib,
Isu,
Jurus,
Menutup,
Pengalihan,
Polri,
Porno,
Restrukturisasi,
Video
Barangkali kalau tidak diwaspadai sungguh-sungguh, gunjang-ganjing video porno yang patut dapat diduga melibatkan penyanyi tenar Ariel Peterpan maka kita semua akan terkecoh.
Mengapa? Sebab saat ini ada ambisi besar dari MABES POLRI yang sedang diupayakan untuk disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama.
Khusus untuk Presiden SBY, ambisi besar MABES POLRI adalah meminta kenaikan anggaran tahun 2011 menjadi sekitar Rp. 30 Triliun (dari anggaran sekitar Rp. 27 Triliun). Dan diatas itu, ambisi paling mendesak lain dari MABES POLRI adalah restrukturisasi yang bertujuan men-jenderalkan lebih banyak lagi anggotanya.
Termasuk diantaranya berangan-angan membuat pos jabatan Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror menjadi pos jabatan untuk Jenderal bintang 2 alias Inspektur Jenderal.
Sebelumnya, jabatan Kepala Densus 88 Anti Teror dikepalai oleh Jenderal bintang 1.
Betapa tingginya dan sangat berlebihan menempatkan seorang Jenderal berbintang 2 menjadi kepal DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR, sementara di jajaran TNI skup kecil setingkat Detasemen hanya dipimpin oleh sebatas perwira menengah.
Tiga sampai empat tingkat lebih tinggi tingkatan kepangkatan di Polri dibandingkan TNI (dan barangkali di negara-negara lain juga demikian).
Menempatkan seorang Jenderal berbintang 2 menjadi Kepala DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR adalah seperti lucu-lucuan atau ibaratnya pelajaran mengarang bebas yang pantas untuk dikecam sekeras-kerasnya.
Kepala Densus mau dibuat menjadi job bagi Jenderal berbintang 2.
Lalu Densus dipisahkan dari Bareskrim.
Kemudian, pasukannya di daerah TIDAK ADA LAGI sebab di seluruh Polda sudah tidak ada anggota Densus.
Sehingga tugas si Kepala Densus (versi baru) tadi hanya sebatas pengambil kebijakan.
Pertanyaannya adalah kebijakan atas apa?
Kebijakan atas penanganan terorisme di Indonesia?
Oke, kalau tugasnya sebatas pengambil kebijakan maka secara hierarki siapa yang harus menjalankan kebijakan itu dengan menggunakan sistem komando ?
Tidak ada sebab Kepala Densus tidak punya pasukan.
Penanganan terorisme di Indonesia tidak bisa hanya diserahkan penggodokan kebijakan-kebijakannya kepada satu orang manusia saja yang bernama KEPALA DENSUS.
Tidak bisa!
Densus, di masa yang akan datang tidak akan lagi ada ditemukan di struktur kepolisian daerah (Polda).
Mereka akan ditarik ke Mabes Polri dan bertransformasi menjadi sebuah korps laiknya brigadir mobile (Brimob).
“Di wilayah nanti hanya ada CRT (crisis respond team), sebagai pemukul yang sudah dididik di Amerika. Nantinya (CRT) ada dibawah Dan Sat Brimobda (Komandan Satuan brigadir mobile daerah),” kata Kapolri Jenderal pol Bambang Hendarso Danuri, di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Densus akan dipimpin oleh jenderal bintang dua, bukan lagi jenderal bintang satu seperti yang sekarang ini.
Detasemen itu hanya akan mengurusi pengambilan kebijakan di pusat. Namun, mereka akan flexibel jika suatu waktu diperlukan tenaganya.
Sehingga, patut dapat diduga gunjang ganjing video porno adalah pengalihan isu untuk mengaburkan ambisi-ambisi besar ini supaya selamat terlaksana sesuai harapan MABES POLRI (tanpa ada hambatan, kritikan dan pemberitaan media massa yang dapat mempengaruhi pemikiran Presiden SBY).
Ambisi lain yang juga sedang diupayakan oleh MABES POLRI adalah turunnya bantuan dari Amerika Serikat terkait pembentukan CRISIS RESPOND TEAM (CRT) yang akan ditempatkan di sejumlah Polda di wilayah Indonesia untuk menggantikan Pasukan Densus 88 Anti Teror.
Sehingga, jika saat ini pemberitaan media massa dapat digiring dan dialihkan ke isu lain yang gaungnya bukan membuka borok-borok POLRI maka barangkali Presiden SBY dan Presiden Barack Hussein Obama bisa lebih “murah hati” untuk mempercepat kebaikan hati mereka mengabulkan permintaan-permintaan Polri dalam bentuk apapun.
Dugaan tentang adanya pengalihan isu ini adalah untuk mengikis habis resistensi yang dapat digelembungkan ke permukaan oleh kekuatan media massa.
Tampaknya, MABES POLRI menyadari kekuatan media massa dalam membentuk opini publik. Padahal saat ini, Presiden SBY sedang mempertimbangkan usulan restrukturisasi itu.
Neta S. Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch mengatakan bahwa usulan restrukturisasi yang diajukan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri itu harus ditolak oleh Presiden SBY.
“Itu pemborosan bagi negara. Untuk apa Polri menghapus Polwil misalnya, tetapi strutur di atas dibuat menjadi sangat gemuk. Anggaran Polri akan terkuras untuk membayar gaji para jenderal itu. BHD sepertinya ingin berbaik hati kepada anggotanya sehingga pos-pos jabatan bagi para Jenderal diperbanyak” kata Neta S. Pane.
Neta S. Pane juga mengecam dengan keras rencana Kapolri Bambang Hendarso Danuri yang mau menempatkan Jenderal berbintang 2 memimpin Densus 88 Anti Teror.
“BHD ini semaunya sendiri saja merancang struktur organisasi Polri yang baru. Densus akan dipimpin Jenderal berbintang 2, lho untuk apa ? Pekerjaan Densus itu tidak setiap hari. Mereka hanya akan diturunkan kalau ada kasus terorisme. Densus memang harus ada di berbagai Polda agar ketika di daerah terjadi kasus terorisme maka anggota Densus dari Polda terdekat yang akan diterjunkan. Kalau sekarang Densus dibuat tidak punya pasukan di daerah, terlalu berlebihan dan terlalu besar jika posisi Kepala Densus diberikan kepada Jenderal berbintang 2″ kata Neta S. Pane.
Jadi menurut Neta S. Pane, draft perubahan struktur organisasi Polri yang baru memang harus ditolak dan jangan sampai disetujui oleh Presiden SBY.
“Kami mendapat copy dari draft susunan organisasi baru Polri yang dirancang BHD itu. Nanti akan ada 8 job untuk Jenderal berbintang 3 dan sedang dipertimbangkan untuk menempatkan Jenderal berbintang 3 juga untuk menjadi Staf Ahli. Selama ini Staf Ahli hanya untuk Jenderal berbintang 2. Kalau Staf Ahli untuk Jenderal berbintang 3 juga maka akan ada 9 kursi untuk Jenderal berbintang 3. Ini hanya akan memboroskan anggaran kepolisian jika terlalu banyak JENDERAL yang mau dibuat di Polri. Selama ini 60 persen anggaran Polri itu tersedot untuk operasional. Jika struktur baru yang akan menghasilkan sekitar 240 JENDERAL di tubuh Polri, maka nantinya anggaran Polri akan tersedot sebagai 80 %. Besar sekali pemborosannya !” lanjut Neta S. Pane.
Neta S. Pane juga mengkritik kebiasaan Polri meminta bantuan secara langsung dari AMERIKA SERIKAT.
“Ini tidak boleh dibiarkan oleh Pemerintah dan DPR. Polri tidak boleh seenaknya mengajukan proposal bantuan dalam bentuk apapun secara langsung kepada PEMERINTAH AMERIKA dan seluruh perangkatnya. Apalagi Densus 88 atau CRT yang sedang dipersiapkan itu. Kalau CRT juga atas didikan Amerika bahwa bisa-bisa CRT itu akan menjadi LASKAR AMERIKA yang tersusupkan di Indonesia. Harus ada kontrol yang kuat dari semua pihak bagi Polri jika hendak mendapatkan bantuan dari negara lain. Bahkan kalau perlu, tidak boleh lagi mengajukan secara langsung proposal bantuan apapun kepada AMERIKA. DPR harus mengawasi masalah ini. Apa-apaan itu, kalau cuma Polri saja yang mau menikmati semua bentuk bantuan dan pelatihan dari AMERIKA?” ungkap Neta S. Pane.
Sehingga kalau belakangan ini, gunjang ganjing video porno yang patut dapat diduga melibatkan sejumlah artis maka seluruh pemberitaan media massa saat ini tersedot pada 2 hal besar saja di tanah air tercinta ini yaitu Piala Dunia dan Video Porno.
Semua aib dan dugaan keterlibatan perwira tinggi Polri dalam sejumlah kasus pengemplangan pajak yang mencuatkan nama Gayus Tambunan, seakan tenggelam.
Raib di telan bumi.
Polri seakan menikmati tenggelamnya semua pemberitaan yang terus menerus menyudutkan mereka karena segala borok menjadi terpampang jelas di media massa.
Apalagi kekuatan-kekuatan Islam, misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai unsur Islam lainnya, sangat keras mengecam gunjang ganjing video porno ini.
Densus 88 Anti Teror yang selama ini banyak terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mengorbankan umat Islam di Indonesia atas nama penanganan terorisme, seakan terselamatkan oleh situasi ini.
Contoh nyata adalah penembakan brutal di malam takbiran tahun 2006 yaitu Densus 88 Anti Teror (atas perintah dari seorang petinggi Polri) menembaki sebuah Pondok Pesantren di Poso, Sulawesi Tengah.
Komnas HAM menyatakan POLRI secara nyata telah melakukan PELANGGARAN HAM pada peristiwa penembakan di malam takbiran tahun 2006 di Poso.
Bukan TNI yang dinyatakan melakukan PELANGGARAN HAM oleh Komnas HAM atas peristiwa brutalisme itu, melainkan POLRI atau tepatnya Densus 88 Anti Teror Polri.
Kemudian, atas perintah dari petinggi Polri yang sama maka Densus 88 Anti Teror juga menembaki perumahan warga sipil di Poso tanggal 22 Januari 2007 yang menewaskan belasan warga sipil.
Densus 88 Anti Teror yang mengaku hendak menangkap orang-orang yang dididuga teroris serta masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) justru menewaskan belasan umat Islam yang namanya tidak termasuk dalam DPO.
Komnas HAM juga menyatakan bahwa POLRI telah melakukan PELANGGARAN HAM pada peristiwa yang brutal dan sadis ini bulan Januari 2007.
Sekali lagi, bukan TNI yang dinyatakan melakukan PELANGGARAN HAM oleh Komnas HAM atas peristiwa brutalisme itu, melainkan POLRI atau tepatnya Densus 88 Anti Teror Polri.
Jujur saja, memang ada tindakan-tindakan Densus 88 Anti Teror yang sudah sangat berlebihan dan merugikan umat Islam di Indonesia.
Ini fakta.
Ini realita.
Jadi, jika memang saat ini ada ambisi tertentu dari Mabes Polri terkait restrukturisasi agar bisa mulus mendapat persetujuan Presiden SBY, ambisi itu tidak bisa dibiarkan melaju tanpa filter yang kuat dari fungsi kontrol sosial yang dimiliki oleh rakyat Indonesia lewat kekuatan media massa.
Presiden SBY jangan menyetujui usulan-usulan yang memang berpotensi untuk membebani bangsa dan negara.
Presiden SBY jangan menyetujui bagian-bagian tertentu dalam usulan restrukturisasi Polri, jika memang tidak tepat untuk difungsikan dalam organisasi Polri.
Polri juga jangan mengakal-akali gerak laju ambisi mereka ini dengan cara mengalihkan isu.
Bertugaslah dengan baik.
Jangan tutupi aib dan borok yang ada, dengan cara mengalihkan isu ke masalah-masalah pornografi.
Bereskan dan tertibkan dulu ke dalam organisasi Polri.
Bersihkan dulu dan tegakkan reformasi birokrasi di tubuh Polri, baru agresif menindak keluar.
Jadi jangan akal-akalan cari selamat dengan cara mengalihkan isu.
Apalagi mendramatisir isu pornografi. Dimana asas keadilan jika hanya satu sisi saja ingin menegakkan hukum ? Hendaklah Polri jangan seperti permainan sulap. SIM SALABIM .. hap, hilang semua pemberitaan negatif yang menyoroti semua aib dan borok anggota, dengan cara mengalihkan ke isu video porno.
Hap, hancurkan nama baik, karier dan reputasi artis-artis ternama, yang penting jenderal-jenderal Polri aman sentosa & selamat dari kejaran pemberitaan ?
Oh, malangnya para artis ternama ini.
Ini sama dengan tren menangkapi artis-artis lewat kasus-kasus narkoba tetapi POLRI tak berkutik dan tak bernyali menangkap PERWIRA TINGGI POLRI yang patut dapat diduga mencuri barang bukti narkoba dan menjadi beking MAFIA-MAFIA NARKOBA INTERNASIONAL di negeri ini???
Memalukan …
Dikutip dari: kabarnet.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Biasalah tu... Indonesia lah namanya.... menutup isu dengan isu... tak pake siap-siap!!!
BalasHapus